Berita Kampus
Guna Cetak Jurnalis yang Idealis, Himakom UPER Selenggarakan Talkshow Bersama Praktisi Jurnalistik

Published by: Universitas Pertamina 11 November 2022
Di baca: 12 kali
Jakarta, 11 November 2022 - Commniafest (Communication, Intellectual, and Art Festval) merupakan kegiatan tahunan Himpunan Mahasiswa Komunikasi (Himakom) Universitas Pertamina. Acara besar dari Himpunan Mahasiswa Komunikasi (Himakom) Universitas Pertamina ini telah diselenggarakan sukses di cabinet sebelumnya (2021), dan tahun ini Commniafest 2022 mengangkat tema “Citizen Journalism in Digital Era: Informative and Competitive” dan telah terselenggarakan dengan sukses pula. 

Lomba yang dibawa pada tahun ini diantaranya video citizen journalism dan microblogging. Video citizen journalism adalah sebuah kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh warga biasa, sedangkan microblogging adalah sebuah blog kecil yang disajikan dalam bentuk infografis atau carousel. Kedua mata lomba ini berhasil menarik partisipasi para peserta dari kalangan pelajar SMA/SMK, mahasiswa, dan umum dari berbagai daerah di Indonesia.

Pada Sabtu (5/11), Himpunan Mahasiswa Komunikasi (Himakom) Universitas Pertamina menggelar talkshow. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara puncak dari Commniafest 2022, acara tahunan Himpunan Mahasiswa Komunikasi (Himakom) Universitas Pertamina. Kegiatan ini dihadiri oleh Dr. H. Mohammad Ichlas El-Qudsi, S.Si., M.Si., selaku Kepala Program Studi Komunikasi Universitas Pertamina, Dr. Wahyudi Marhaen Pratopo Eko Setyamojo, S.IP., M.Si., selaku Sekretaris Program Studi Komunikasi Universitas Pertamina, dan peserta kegiatan acara puncak talkshow. Adapun peserta dari acara ini adalah para peserta lomba Commniafest 2022 dan para mahasiswa Program Studi Komunikasi.

Dalam sambutannya, Ichlas memproyeksikan pada tahun 2035, terdapat 4 kompetensi yang harus dimiliki seseorang. Diantaranya critical thinking, creative problem solving, coordination, dan communication. “Acara yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Komunikasi ini sebagai ajang untuk berkembang dan berkompetisi. Harapannya, keempat kompetensi dan pengembangan diri ini menjadi bekal untuk kompetisi dan berkembang kedepannya, serta membawa manfaat untuk diri sendiri dan masyarakat,” ucapnya.

Talkshow ini mengangkat topik pembahasan “Talk with the Expert: How is Journalism Today?” dengan mengundang narasumber yang melegenda di kalangan journalis tanah air, Andreas Harsono. Andreas merupakan salah satu jurnalis, penulis, dan kaum intelektual yang melegenda di Indonesia. Penulis buku “Agama Saya Adalah Jurnalisme” ini merupakan salah satu pendiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) (1994), Institut Studi Arus Informasi (1995), dan Yayasan Pantau (1999).

Andreas membuka talkshow ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang tujuannya memantik kemampuan critical thinking pada peserta talkshow ini, seperti Benarkah ‘Islam’ tidak cocok dengan demokrasi, selalu diskriminasi perempuan? Minoritas agama dan kepercayaan? LGBT? dan lain sebagainya. 

Inti materi pada talkshow ini membahas tentang 10 elemen jurnalisme yang digagas oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Adapun elemen-elemennya sebagai berikut:
1. Wartawan harus berdiri pada kebenaran. Tugas utama seorang praktisi jurnalisme adalah memberitakan kebenaran. Kebenaran yang bukan debat filsafat atau agama, akan tetapi kebanaran fungsional yang sehari-hari diperlukan masyarakat;
2. Loyalitas jurnalisme adalah kepada warga (citizens). Karena jurnalis memiliki tugas utama memberitakan kebenaran ke khalayak (khususnya masyarakat), praktisi jurnalisme harus memiliki tanggung jawab sosial;
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Inilah yang menjadi pembeda antara praktik jurnalistik dengan pembawa berita lainnya. Dasar dari verifikasi adalah bersikap setransparan mungkin tentang metode dan motivasi dalam liputan. Dalam jurnalisme, disiplin verifikasi penting untuk menyampaikan berita yang kualitas dan dapat diterima oleh khalayak;
4. Praktisi jurnalisme harus menjaga independensi dari objek liputannya. Wartawan harus bersikap independent terhadap narasumber yang mereka kehendaki untuk diliput. Sah-sah saja jika wartawan memiliki opini, namun fakta adalah suci;
5. Praktisi jurnalisme harus memposisikan dirinya sebagai pemantau kekuasaan. Sebagai wartawan, jurnalis harus memantau kekuasaan dan menyambung lidah yang tertindas. Tidak jarang wartawan menjadi penyambung lidah rakyat kepada para penguasa dan oligarki.
6. Praktisi jurnalisme harus membuka dan memberi ruang/forum bagi publik untuk bebas mengeluarkan pendapat, seperti kritik, kompromi, dan sebagainya;
7. Praktisi jurnalisme berusaha hal penting menjadi menarik dan relevan. Agar berita dapat menarik perhatian masyarakat, tentu harus ada hal yang dapat memikat masyarakat untuk mau membacanya. Akan tetapi, bukan hal yang bersifat sensasional;
8. Praktisi jurnalisme harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional, tidak boleh berat sebelah;
9. Praktisi jurnalisme diperbolehkan menggunakan hati nuraninya.

Kesembilan elemen ini disempurnakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya yang berjudul “The Elements of Journalism” yakni praktisi jurnalisme dan warga bersama-sama memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang berkaitan dengan berita.

Tidak lama setelah pemaparan diskusi langsung memasuki sesi tanya-jawab. Terdapat sebuah pertanyaan yang krusial dan fundamental, yang ditanyakan oleh salah satu peserta talkshow ini. “Jika jurnalis melakukan kesalahan, tentu akan melanggar kode etik jurnalistik, dan mereka akan diberikan sanksi berupa teguran. Sedangkan, profesi lain jika melakukan pelanggaran akan dilakukan pencabutan izin praktik. Misalnya saja seperti dokter, perawat, dan lain sebagainya. Mengapa jurnalis tidak memiliki sertifikasi jurnalis, atau surat izin praktik jurnalis? Mengapa jurnalis berbeda dengan profesi lain yang mereka pada dasarnya harus memiliki surat izin praktik?”

Ia kemudian menjawab “Faktanya, jurnalistik ini bisa dilakukan oleh siapa saja. Sangat banyak jumlah media dan jurnalis di Indonesia. Kalau semua dibuat sertifikasinya tentu akan lama dan akan menghambat kerja mereka. Misalkan saja semua orang memiliki WhatsApp, WhatsApp ini merupakan kegiatan jurnalistik juga. Kamu membagi pesan (berita) kepada orang lain, atau kelompok kalian. Apabila WhatsApp tersebut harus ada izinnya, tentu siklus pemberitaan akan sulit karena harus ada izinnya. Tentu menghadapi fenomena ini harus dengan jeli dan bijak,” jelasnya. [RF]

Thumbnail

Tinggalkan Balasan

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE

© 2021 Universitas Pertamina.
All Rights Reserved