Hingga Juni 2025, bauran energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia baru mencapai 14,5% dari total kapasitas pembangkit listrik nasional. Angka ini masih jauh dari target pemerintah sebesar 23% pada tahun 2025. Fakta ini menunjukkan bahwa transisi energi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Di sinilah peran diplomasi energi menjadi krusial, karena kerja sama internasional dapat membantu Indonesia mencapai target transisi energi sekaligus menjaga ketahanan energi nasional.
Apa Itu Diplomasi Energi?
Menurut SpringerLink dalam Energy Diplomacy in an Era of Transition (2023), diplomasi energi juga didefinisikan sebagai upaya suatu negara mencapai kebijakan dalam dan luar negeri yang menjamin aliran energi yang tak terputus, dengan tujuan agar ekonomi, kohesi sosial, dan lingkungan tidak berdampak negatif. Definisi ini menegaskan bahwa energi bukan hanya soal pasokan listrik atau sumber daya alam, melainkan juga berkaitan erat dengan stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan hubungan antarnegara.
Diplomasi energi penting dilakukan karena menyangkut tiga aspek strategis energi yaitu:
Keamanan Pasokan Energi: Negara-negara bergantung satu sama lain untuk minyak, gas, dan listrik. Diplomasi membantu memastikan pasokan tetap stabil.
Transisi Energi Bersih: Perjanjian internasional seperti Paris Agreement menegaskan bahwa kerja sama antarnegara sangat penting untuk mempercepat penggunaan energi terbarukan dan menurunkan emisi karbon.
Geopolitik dan Persaingan Global: Energi bisa jadi alat politik. Misalnya, embargo minyak di masa lalu atau kebijakan gas alam Rusia ke Eropa.
Peran Indonesia dalam Diplomasi Energi
Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memegang peran strategis dalam percaturan energi global. Meski masih menjadi eksportir batu bara utama, Indonesia juga gencar mengembangkan energi terbarukan seperti panas bumi, surya, dan hidro.
Dalam forum internasional seperti APAEC dan G20, Indonesia aktif mendorong transisi energi yang adil, termasuk melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai USD 20 miliar. Kerja sama bilateral seperti proyek energi surya dengan Uni Emirat Arab serta investasi energi bersih dari Jepang dan Korea Selatan, semakin menunjukkan komitmen Indonesia dalam menyeimbangkan kebutuhan domestik dengan agenda keberlanjutan global.
Masa Depan Energi Dunia Ada di Meja Diplomasi
Diplomasi energi kini menjadi instrumen penting politik luar negeri yang menentukan posisi tawar negara di era transisi energi. Fenomena ini menuntut pemahaman dari perspektif hubungan internasional, mulai dari negosiasi, kerja sama multilateral, hingga strategi geopolitik.
Di Program Studi Hubungan Internasional Universitas Pertamina (UPER), isu energi dipelajari dalam konteks diplomasi global dan politik energi. Mahasiswa dibekali kemampuan analisis interdisipliner dan keterampilan negosiasi agar siap berkontribusi menghadapi tantangan energi dunia.
Ingin menjadi diplomat masa depan yang menguasai isu energi global? Yuk, bergabung di Program Studi Hubungan Internasional Universitas Pertamina melalui pmb.universitaspertamina.ac.id.