Di mata banyak orang, mahasiswa Teknik Mesin adalah sosok yang selalu sibuk. Datang pagi, pulang malam, laporan praktikum tak ada habisnya, ditambah tugas desain yang seolah tidak mengenal kata selesai. Persepsi ini tidak sepenuhnya keliru—bahkan, bagi mahasiswa semester 7, kenyataannya bisa jauh lebih padat dari yang dibayangkan.
Semester 7 menjadi titik paling intens dalam perjalanan akademik termasuk bagi para mahasiswa Teknik Mesin. Di fase ini, beban akademik, persiapan tugas akhir, hingga keterlibatan di berbagai aktivitas kampus saling bertumpuk tanpa jeda.
Potret keseharian tersebut tampak tergambar dari cerita Dika, panggilan akrab dari Muhammad Suryadika. Mahasiswa Teknik Mesin semester 7 ini tak hanya sekadar berjibaku dengan tugas kuliah, namun juga menjadi asisten praktikum dan aktif di berbagai kegiatan prodi. Dalam satu hari, peran yang Dika jalankan bisa beragam. Dengan berbagai aktivitasnya, Dika mengaku menyiasatinya dengan manajemen waktu yang terbukti relevan bagi kesehariannya.
Klasifikasi Prioritas Berdasarkan Tingkat Urgensi dan Kepentingan
Mahasiswa semester akhir menghadapi berbagai tuntutan secara bersamaan, mulai dari bimbingan tugas akhir hingga asistensi praktikum dan kegiatan program studi. Untuk menyiasatinya, Dika mengelola tugas dengan mengklasifikasikan tingkat urgensi dan kepentingannya, sehingga dapat menentukan mana yang harus segera diselesaikan, mana yang bisa dijadwalkan ulang, dan mana yang dapat ditunda atau didelegasikan.
“Kalau semua dianggap darurat, akhirnya malah nggak ada yang dikerjain dengan maksimal. Aku belajar milih mana yang memang harus jalan duluan,” ujar Dika.
Pendekatan ini membantunya menghindari kelelahan karena tekanan yang tidak terstruktur, sekaligus menjaga kualitas hasil kerjanya di berbagai bidang.
Pengelolaan Waktu Berdasarkan Kondisi Kognitif dan Fisik
Selain mengatur jadwal, Dika menyadari bahwa efektivitas kerja juga ditentukan oleh kondisi fisik dan mental. Ia memanfaatkan waktu pagi hingga menjelang siang untuk mengerjakan tugas yang membutuhkan konsentrasi tinggi, seperti analisis data tugas akhir atau penyusunan laporan teknis, sementara pekerjaan administratif dan koordinatif dialokasikan pada sore hari saat tingkat energinya lebih rendah.
“Aku sadar nggak semua jam itu kualitasnya sama. Makanya, kerja mikir aku taruh pagi, yang ringan dan teknis baru aku kerjain sore,” tutur Dika.
Strategi ini membuatnya lebih efisien tanpa harus memaksakan diri bekerja dalam kondisi kognitif yang sudah menurun.
Pembatasan Peran dan Beban Tanggung Jawab
Dalam konteks akademik semester akhir, mahasiswa kerap dihadapkan pada berbagai tawaran keterlibatan dalam aktivitas kampus yang berpotensi menimbulkan kelelahan akibat beban yang berlebihan. Dika menyikapinya dengan membatasi peran secara selektif, memilih hanya keterlibatan yang relevan dengan prioritas akademik dan pengembangan dirinya sebagai calon insinyur.
“Dulu aku mikir baik itu harus selalu bilang iya. Tapi ternyata, kadang bilang ‘nggak dulu’ itu justru cara buat jaga kualitas kerja kita,” imbuh Dika.
Pembatasan ini bukan bentuk menghindari tanggung jawab, melainkan strategi untuk menjaga keberlanjutan performa akademik serta kesehatan mental dalam jangka panjang.
Menjelang akhir percakapan, Dika tidak memaknai semester 7 sebagai fase yang perlu ditakuti, melainkan sebagai ruang pembelajaran yang membentuk cara berpikir dan ketahanan mental calon insinyur. Menurutnya, tekanan di semester akhir justru menjadi bagian penting dari proses pendewasaan akademik dan profesional. Dika menekankan bahwa kesibukan, revisi tugas akhir, serta tanggung jawab yang bertumpuk bukanlah beban semata, melainkan latihan menghadapi kompleksitas dunia kerja yang sesungguhnya.
“Menurut aku, jangan takut sama semester 7. Memang capek, memang padat, tapi justru di situ kita belajar banyak hal yang bakal kepake banget nanti pas kerja,” tutup Dika.
Menurut Dika, semester 7 adalah simulasi dunia kerja versi kampus, tempat mahasiswa belajar menghadapi deadline, mengatur prioritas, bekerja dalam tim, dan mengambil keputusan di bawah tekanan. Kesiapan profesional pun terbentuk tidak hanya dari kelas, tetapi juga melalui ekosistem pembelajaran yang terhubung dengan industri, seperti yang dibangun di Program Studi Teknik Mesin Universitas Pertamina.
Program Studi Teknik Mesin Universitas Pertamina menghadirkan pembelajaran yang terhubung langsung dengan kebutuhan industri melalui kurikulum berbasis energi, manufaktur, dan teknologi berkelanjutan, serta dukungan laboratorium dan kolaborasi industri. Lingkungan ini membekali mahasiswa dengan kompetensi teknis dan kesiapan adaptif untuk menghadapi dinamika dunia kerja.