14 April 2022, Program Studi Hubungan Internasional Universitas Pertamina melaksanakan kegiatan Diskusi & Bedah Buku yang berjudul “DIPLOMASI MEMBUMI: Narasi Cipta Diplomat Indonesia” yang dilaksanakan melalui platform Zoom dan dipandu oleh MC yaitu Priesca Ayu dan Fendi Irawan dan moderator oleh dosen Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Pertamina yaitu Bapak Iqbal Ramadhan, M.IP. Acara ini dihadiri oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Austria dan PBB, Bapak H.E. Dr. Darmansjah Djumala selaku narasumber dalam webinar ini, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis & Fakultas Komunikasi dan Diplomasi, Ibu Dr. Dewi Hanggraeni, S.E., M.B.A., Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Pertamina, Bapak Dr. Indra Kusumawardhana, M.Hub.Int, dan civitas akademika Universitas Pertamina, serta peserta yang merupakan mahasiswa Universitas Pertamina dan juga mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia.
Acara Diskusi & Bedah Buku ini diawali dengan pembukaan dan kata sambutan dari Ibu Dr. Dewi Hanggraeni, S.E., M.B.A, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis & Fakultas Komunikasi dan Diplomasi dan dilanjutkan dengan pembacaan Curriculum Vitae dari Bapak H.E. Dr. Darmansjah Djumala oleh Bapak Iqbal Ramadhan, M.IP selaku moderator pada kegiatan Diskusi & Bedah Buku yang berjudul “DIPLOMASI MEMBUMI: Narasi Cipta Diplomat Indonesia”. Pada segmen berikutnya adalah pemaparan singkat oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Austria dan PBB, Bapak H.E. Dr. Darmansjah Djumalah terkait cikal bakal dari lahirnya buku “DIPLOMASI MEMBUMI: Narasi Cipta Diplomat Indonesia” serta memaparkan gambaran umum isi dari buku tersebut. Awal mula buku ini terbit dikarenakan kekhawatiran Bapak Djumalah sebagai praktisi diplomat dan juga sebagai akademisi terkait adanya mispersepsi terhadap diplomasi. Hal tersebut dikarenakan, selama ini diplomasi dianggap hanya kerja elitis dan berjarak dengan rakyat.
Segmen berikutnya adalah sesi diskusi dan pemaparan oleh Bapak H.E. Dr. Darmansjah Djumalah yang membahas terkait apa kaitan Non-Blok dan diplomasi membumi. Sebelum masuk ke inti jawaban dari diskusi tersebut, Pak Djumalah memberikan penjelasan terkait dengan pengertian dari diplomasi membumi yang dimana diplomasi membumi adalah orientasi kebijakan untuk kepentingan elit, bisa juga kepentingan rakyat. Sementara Non Blok adalah sebuah prinsip. Jika digabungkan dengan diplomasi membumi dan Non Blok artinya pemerintah Indonesia mempunyai kebebasan untuk melakukan orientasi kebijakannya dalam politik luar negeri, apakah untuk kepentingan elit, rakyat, asing karena Indonesia berprinsip kepada bebas. Diketahui bahwa Non Blok adalah Guiding Principle, hal tersebut menjadi sebuah pedoman bagi Indonesia dalam memilih siapa “teman”, siapa “lawan”, dan kemana arah orientasinya karena hal tersebut merupakan kepentingan nasional Indonesia. Kepentingan nasional ini tentunya diarahkan oleh orientasi kebijakan yang mana karena, secara konsep adalah diplomasi Indonesia sedapat mungkin diupayakan untuk memenuhi kebutuhan konkrit rakyat dan kemudian dari konsep tersebut, lahirlah diplomasi yang membumi.
Masih dilanjutkan dengan sesi diskusi dan pemaparan dari Bapak H.E. Dr. Darmansjah Djumalah, kali ini beliau memberikan pemaparan terkait dinamika politik kawasan Eropa dan geopolitik ukraina. Ketegangan antara Ukraina dan Rusia sudah terjadi sejak dulu, namun dibalik ketegangan tersebut, Ukraina tidak menjadikan hal tersebut sebagai pembelajaran. Ketegangan antara Ukraina dan Rusia disebabkan karena mereka terombang-ambing antara politik pro-Barat dan pro-Rusia. Sehingga, mereka tidak memiliki politik bebas aktif. Maka dari itu, Bapak H.E. Dr. Darmansjah Djumalah menyimpulkan bahwa politik luar negeri bebas aktif yang berdasarkan kepentingan nasional itu masih relevan. Buktinya adalah Ukraina yang tidak bijak dan cermat dalam menempatkan diri dalam tarikan pro-Barat atau pro-Timur.
Segmen berikutnya adalah sesi question and answer. Pertanyaan pertama diajukan oleh Hardana Dinastri yang merupakan mahasiswa program studi Hubungan Internasional Angkatan 2019 dan pertanyaannya adalah bagaimana strategi para diplomat dan juga masyarakat untuk tetap mempertahankan sejarah Indonesia yang membanggakan karena dapat mendorong kerjasama selatan-selatan. Lalu terdapat pertanyaan tambahan dari Hardana terkait bagaimana proyeksi diplomasi membumi ketika dikaitkan dengan momentum presidensi G-20. Dua pertanyaan Hardana ini dijawab oleh Bapak Djumalah bahwa di dalam sejarah diplomasi internasional, Indonesia merupakan negara yang well recorded dalam memerdekakan negara-negara berkembang terutama setelah tahun 1955 pada konferensi Asia Afrika. Pasca konferensi tersebut, banyak negara-negara berkembang memperoleh kemerdekaannya. Akan tetapi, saat ini banyak yang tidak mengetahui hal tersebut, sehingga disini lah peran para diplomat untuk memelihara dan melestarikan sejarah tersebut tetap hidup. Contohnya adalah pada saat sidang PBB, ketika bercerita terkait kerjasama negara-negara berkembang, para diplomat akan membahas kerjasama negara-negara berkembang berdasarkan konferensi Asia Afrika. Selain itu ada acara lain untuk memelihara dan melestarikan sejarah tersebut yaitu, setiap ada program, para diplomat selalu menarik hal tersebut ke dalam south-south cooperation. Selanjutnya pertanyaan kedua masih dijawab oleh Bapak Djumalah bahwa terdapat relevansi antara diplomasi membumi dan G-20. Hal tersebut dikarenakan terdapat 3 prioritas G-20 yang berkaitan dengan diplomasi membumi.
Pertanyaan kedua datang dari Ibu Novita Putri Rusdiany, M.A. yang merupakan dosen program studi Hubungan Internasional, Universitas Pertamina dan pertanyaan dari beliau membahas terkait konteks digitalisasi yang sedang dihadapi sekarang dan bagaimana netizen movement dan peran diplomat. Contohnya adalah pada saat konflik Ukraina-Rusia terdapat banyak netizen Indonesia yang berpihak kepada salah satu aktor melalui sosial media. Sementara bagi yang sudah paham dalam bidang ini, kita mengharapkan posisi Indonesia itu netral. Dalam konteks globalisasi, terkadang netizen jauh melampaui dari apa yang telah ditetapkan dalam kebijakan. Dalam konteks diplomasi membumi, bagaimana peran diplomat dan apa yang sebaiknya dilakukan oleh para diplomat untuk mengatasi gap antara sikap dari netizan Indonesia yang bertolak belakang dengan kebijakan nasional Indonesia yang bebas aktif. Pertanyaan dari Bu Vita langsung dijawab oleh Bapak Djumalah bahwasanya memang betul fenomena digital di Indonesia sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Ibu Vita. Dalam mengatasi hal tersebut, para diplomat wajib terjun langsung mengatasi permasalahan tersebut dan diwajibkan memiliki digital literasi, minimal 2 aplikasi yang berisikan dengan narasi-narasi yang sesuai dengan keahlian para diplomat.