Berita Energi
Simak! Ini Strategi Besar Pertamina Menuju Energi Bersih

Published by: CNBC Indonesia 21 October 2022
Di baca: 7 kali

Nusa Dua, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) tak main-main untuk menjalankan komitmennya mendukung program pemerintah untuk mencapai netral karbon atau net zero emissions (NZE) pada 2060 mendatang atau lebih cepat.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan, perseroan akan mengalokasikan anggaran hingga US$ 150 miliar atau sekitar Rp 2.322 triliun (asumsi kurs Rp 15.490 per US$) untuk pengembangan energi baru terbarukan sampai 2060.

Beberapa program menuju energi bersih yang dijalankan perseroan yaitu pengembangan green hydrogen (hidrogen hijau) dan juga produk baterai kendaraan listrik (Electric Vehicle/ EV battery).


"Kita mulai sisihkan anggaran investasi itu gak hanya existing tapi juga untuk EBT. Kalau kita hitung sampai 2060 total angkanya berkisar US$ 120 - 150 miliar. Karena ini kan bisnis besar," ungkap Nicke kepada CNBC Indonesia di sela acara SOE International Conference di Nusa Dua, Bali, Senin (17/10/2022).

Selain mengembangkan energi terbarukan, Nicke pun membeberkan sejumlah langkah strategis perseroan untuk mencapai netral karbon, mulai dari efisiensi kilang dan blok minyak dan gas bumi (migas) perseroan, melaksanakan Program Langit Biru dengan menyediakan produk Bahan Bakar Minyak (BBM) yang lebih ramah lingkungan dan pemakaian Bahan Bakar Nabati (BBN), hingga pemakaian teknologi Carbon Capture, Utilization & Storage (CCUS).

Nicke menyebut, sejak tahun 2019, Pertamina sudah berupaya menurunkan emisi karbon dalam bisnis-bisnisnya. Hasilnya, pada 2021 emisi karbon perusahaan berhasil turun di angka 29%.

Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon nasional sebesar 31% pada 2030 dengan upaya sendiri atau Nationally Determined Contribution (NDC).

Lantas, apa saja startegi besar Pertamina dalam proses transisi energi guna mencapai target netral karbon ini? Berikut petikan wawancara CNBC Indonesia bersama Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati di sela acara SOE International Conference di Nusa Dua, Bali, Senin (17/10/2022).

Apa rencana Pertamina dalam mendorong Net Zero Emissions?

Indonesia sendiri kan baru saja merevisi meningkatkan untuk NDC 29% di 2030 menjadi 31%. Oleh karena itu, Pertamina harus mempercepat proses NZE yang targetnya di 2060. Beberapa langkah kita lakukan dengan dekarbonisasi. Pertama, existing business kita yang hasilkan emisi, kita turunkan. Sejak tahun 2019 kita sudah hitung berapa penurunan karbon emisi. 2021 akhir kita berhasil turunkan 29%, kita hitung base-nya dari 2010, 2021 berapa yang bisa kita turunkan, itu sudah capai 29%.

Apa saja yang dilakukan? Pertama, kita melakukan efisiensi di kilang-kilang dan seluruh blok migas dengan menggunakan kembali gas buang yang ada. Kita pun melakukan program di hilir yaitu Program Langit Biru, sudah shifting dan itu sudah berikan kontribusi yang besar. Kemudian, B30, kita turunkan 30% dari diesel, itu diganti dengan FAME (fatty acid methyl esters) ini memberikan kontribusi besar. Dari tiga ini kita bisa menurunkan 29% secara berulang. Angkanya 7,4 juta metrik ton, ini angkanya cukup besar.

Ngomongin soal energi bersih, roadmapnya dalam lima tahun ke depan bagaimana?

Indonesia punya kekayaan alam yang luar biasa, sebetulnya concern energi bersih, baik sesuai dengan sumber daya alam yang dimiliki, dalam hal ini Indonesia sebagai negara kepulauan, maka konsepnya bukan interkoneksi. Kalau bicara Indonesia Timur harus pakai kearifan lokal. Jadi, sumber energi harus dimiliki. Kita mempunyai reservoar storage untuk CO2, ini kan yang sudah dihasilkan kita capture lalu injeksikan dan ini bisa meningkatkan produksi hulu migas, nah Indonesia punya kapasitas yang besar sekali, sekitar 400 gigaton, ini termasuk yang besar.

Ketiga adalah kita punya hutan yang luas, ini bisa menjadi natural-based solution. Pertamina sudah mulai dengan Perhutani, ini bisa menurunkan 6-7 juta metrik ton ini baru sembilan lokasi, dari ketiga ini inisiatif itu saja dalam lima tahun harusnya bisa dalam peningkatan ini.

Jadi, pertama dari sisi energi primer, hari ini Pertamina produksi fuel dan gas. Kalau bisa convert jadi biofuel menjadi green refinery, maka bisa menghasilkan 100%, itu besar. Dari sisi energi primer kita bisa menurunkan karbon emisi. Jadi, di sisi itu yang existing bisa kita turunkan.

Kedua, dari sisi RNE (renewable energy) potensi banyak, Pertamina kan di geothermal bisa kita kembangkan untuk hidrogen, jadi bisa menghasilkan green hydrogen dan gas yang ada. Kunci industrialisasi sumber daya alam Indonesia dalam bentuk hilirisasi.

Kalau tantangannya seperti apa?

Saya kan menjadi chair task force, jadi rupanya tantangan yang dihadapi seperti developing countries, sumber daya kita cukup banyak tetapi kita masih perlu akselerasi yang bisa memproses sumber daya alam. Dalam hal ini kita mengembangkan teknologi perlu waktu, kolaborasi dengan negara maju untuk teknologi.

Kedua adalah finance, ini kan investasi baru jadi ini sama, kita perlu kolaborasi dan green financing dengan bunga menarik, sehingga bisa feasible.

Ketiga, menurut saya SDM. Kalau kita lihat data SKK Migas sendiri sektor hulu yang terkait langsung itu jumlahnya bisa puluhan ribu orang, yang nggak langsung jutaan, bagaimana kita bisa menyiapkan ada teknologi transfer untuk orang ini agar relevan untuk masuk ke bisnis energi hijau. Penyiapan SDM harus dikelola bersama karena ini menjadi global challenge.

Bagi Indonesia, accessibility bagi energi yang pertama mengenai ketahanan energi, orang yang penting ada dulu kan. Kedua ini ada affordability, harganya harus terjangkau dan environmental friendly. Tantangan ini lah bagi negara berkembang. Ini yang harus, makanya Pak Presiden menyampaikan di COP tahun lalu, ini harus berjalan berdampingan antara kita melakukan transisi energi tidak boleh mengorbankan ketahanan energi, kita harus berjalan paralel, tentu bisa dilakukan secara kolaborasi.

Bagaimana dengan pendanaannya?

Jadi pertama kita lihat kemampuan equity kita. Kita sudah mulai sisihkan investasi nggak hanya existing tapi RNE juga. Dan kalau kita hitung sampai 2060, total angkanya sampai 150 billion US$. Karena ini kan bisnis besar termasuk pengembangan hidrogen, EV battery, semua energi baru dari sumber daya alam Indonesia kita kembangkan. Kemudian, green bond itu banyak kita bisa mengambil dari situ menarik sekali pendanaan dari luar juga bagaimana unsur teknologi supaya menjadi dan tentu di seluruh negara pembelajarannya adalah pemberian insentif, regulasi yang tepat agar investor tertarik masuk ke Indonesia.

Terkait green bond, bagaimana minat investor dunia?

Kalau dari market sounding kita sangat besar animonya karena melihat RI dengan negara jumlah penduduk yang banyak, kebutuhan energi meningkat dan hari ini masih didominasi energi fosil, peluang untuk mengembangkan green energy besar dengan pasar yang captive, belum lagi kalau berbicara dengan ekspor karena kita punya banyak SDA. Yang kita lakukan sekarang adalah sesering mungkin kita lakukan pengembangan dengan potensi daerah, sehingga konsep kemandirian energi tercipta dan kita siapkan tenaga kerja biar ada alih kelola.

Pertamina cukup agresif kerja sama dengan perusahaan global? Bagaimana ini bisa menguntungkan?

Ada tiga tantangan teknologi dan financing, ini yang kita lakukan dengan secepatnya, kita lakukan partnership untuk mengurangi risiko. Partner menjadi kunci pengembangan energi hijau bisnis Pertamina. Beberapa kita sudah kerja sama, CCUS dari satu basin saja ada formasi yang potensinya 20 juta ton storage. Kemudian juga beberapa blok migas kita lakukan CO2 injection di mana kemudian produksinya meningkat, itu dengan partnership.

Kita juga masuk dengan bisnis baru. Pengembangan hidrogen, EV battery dan jadi kemarin kalau kita bicara partner di luar, mereka tertarik untuk investasi karena kita punya resources dan market. Saya lihat ini memang belum karena dengan adanya perang, tapi kalau dari kacamata energi bersih, positifnya adalah dengan harga migas yang tinggi, maka keekonomian EBT menjadi meningkat karena bisa jadi lebih murah. Karena itu, terkait dengan investor, momentum ini sangat baik untuk akselerasi EBT di Indonesia.

Di tengah kegelapan ekonomi, masih optimistis?

Setiap ada masalah, ada peluang.

Negara mana yang tertarik untuk investasi?

Kita sudah kerja sama dengan Jepang, kemudian Middle East, baik Arab Saudi, Uni Emirat. Kita juga di Eropa ada beberapa negara, Korea, China, semua itu banyak yang mau bekerja sama karena kita punya kekayaan alam yang besar dan sumber daya manusia yang banyak.

Kan Pertamina jalani bisnis migas, itu terintegrasi dengan dekarbonisasi dari masing-masing operasi?

Kita memang sekarang sebagian besar adalah oil and gas. Kita pastikan cara pengoperasiannya berubah, lebih green operation, kita lakukan ada penggunaan kembali gas buang, menambahkan addictive untuk meningkatkan octan number dari nabati. Di hulu kita lakukan carbon capture untuk mengurangi karbon emisi, di kilang itu sana kita lakukan juga dalam menentukan produk apa yang buat kita hitung betul berapa karbon emisi yang dihasilkan dari produk tersebut, jadi masing-masing subholding puya target.

Di hilir juga demikian, bagaimana masyarakat shifting ke BBM yang ramah lingkungan. Dan dari sisi kilang yang tadi kita dorong ke arah petrochem ketika BBM berkurang itu kita proses pertrochem bisa segala macam, prosesnya kita bangun pabrik obat-obatan. Jadi, kilang kita kebagi dua, yang satu jadi green refinery, yang lain di Jawa Kalimantan itu kita integrasikan dengan petrochem, sehingga ke depan produksinya jadi biofuel atau petrochem.

Kita hitung semua inisiatif yang dilakukan.

Seberapa penting keterlibatan masyarakat dalam mencapai NZE?

Sangat penting karena NZE paling cepat adalah penghematan energi. Kalau kemudian masyarakat punya pemahaman untuk mengurangi, penggunaan energi lebih smart, otomatis emisi yang dibakar jadi berkurang. Kemudian, masyarakat di-encourage untuk membangun. Pertamina sudah bangun Desa Energi Mandiri, menggunakan energi di lokal, contoh sampah kita gunakan gas metan, kemudian ada PLTS, kalau itu sudah dikerjakan seluruh masyarakat akan lebih cepat, karena transisi energi perlu keterlibatan semuanya, semuanya harus berpartisipasi.
Thumbnail

Tinggalkan Balasan

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE

© 2021 Universitas Pertamina.
All Rights Reserved