Logo Universitas Pertamina
ID / EN
Berita Energi
Petrokimia, Masa Depan Pertamina

Published by: Investor.id Selasa, 11 Januari 2022
Dibaca: 502 kali
Rencana ekspansi Pertamina memperkuat bisnis petrokimia tak hanya menguntungkan BUMN. Langkah strategis ini juga akan menentukan keberhasilan misi pemerintah melaksanakan transformasi ekonomi, dari berbasis komoditas ke industri pengolahan bernilai tambah tinggi.

Jika kita lihat, neraca perdagangan kita selama puluhan dekade digerogoti defisit besar sektor petrokimia. Pemenuhan bahan baku untuk berbagai macam produk industri mulai plastik, ban, sampai tekstil itu masih sangat tergantung impor. Hal ini karena investasi di sektor strategis tersebut terbilang minim.

Oleh karena itu, proyek pembangunan kilang PT Pertamina (Persero) yang juga akan meningkatkan kapasitas produksi petrokimia tidak hanya menjadi masa depan BUMN migas tersebut, namun juga masa depan bangsa. Proyek petrokimia Pertamina akan seiring sejalan dengan dua proyek besar lain dari swasta, milik PT Chandra Asri Petrochemical Tbk dan PT Lotte Chemical Indonesia (LCI).

Secara bersama-sama, ketiga megaproyek tersebut diproyeksikan memangkas impor sebanyak 2 juta ton pada 2027, senilai sekitar US$ 2,8 miliar. Tidak hanya itu, Indonesia juga berbalik arah bisa mengekspor produk-produk petrokimia sekitar 600 ribu ton, senilai US$ 840 juta.

Saat ini, pasar petrokimia nasional tercatat berkisar 5-6 juta ton setahun, dengan produk seperti polipropilena (PP), polietilena (PE), dan polietilena tereftalat (PET). Dari jumlah itu, sebanyak 2 juta ton masih harus dipenuhi dari impor dan dipastikan ke depan makin melonjak bila tidak ada investasi industri petrokimia di dalam negeri, karena permintaan terus tumbuh seiring bertambahnya penduduk dan rencana memacu industrialisasi nasional.

Pertamina sendiri sudah memasang target untuk menaikkan kapasitas produksi petrokimia dari sekitar 1,66 juta ton saat ini, menjadi 8 juta ton pada 2027 melalui sejumlah proyek. Rencana besar ini masuk dalam rangkaian pembangunan proyek kilang Pertamina, yang mencakup peningkatan kapasitas produksi bahan bakar minyak (BBM) dan integrasi petrokimia senilai total US$ 43 miliar.

Berdasarkan rencana strategis Pertamina, peningkatan kapasitas produksi petrokimia BUMN itu akan dilakukan melalui empat proyek, yakni Petrochemical Jabar, pabrik PP baru di Balongan, proyek olefin Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), dan revamping TPPI. Saat ini, refinery unit (RU) III Plaju Pertamina menghasilkan PP berkapasitas 43 ribu ton per tahun, lalu RU Cilacap menghasilkan benzena, paraksilena, dan propilena masing-masing 93 ribu ton, 265 ribu ton, dan 141 ribu ton per tahun. Adapun RU VI Balongan menghasilkan propilena sebanyak 275 ribu ton per tahun.   

Benzena bisa digunakan untuk memproduksi produk farmasi seperti parasetamol, sedangkan paraksilena digunakan untuk menghasilkan purified terephthalic acid (PTA). Umumnya, PTA diolah bersama monoetilena glikol (MEG) menjadi PET, bahan baku botol minuman plastik. Serat poliester untuk tekstil juga merupakan hasil pengolahan PTA dan MEG.

Di TPPI yang berlokasi di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, ada dua proyek pengembangan dan pembangunan. Pertama, proyek revamping aromatik yang akan meningkatkan produksi paraksilena dari 600 ribu ton menjadi 780 ribu ton per tahun. Kedua, proyek olefin baru yang mencakup pembangunan pabrik PE 1 juta ton dan PP 600 ribu ton per tahun.

Berdasarkan kalkulasi Pertamina, permintaan PP, PE, paraksilena, dan benzena bakal tumbuh 5% per tahun, sehingga pada 2030, jumlahnya mencapai 7,6 juta ton. Itu artinya, ada potensi pasar sebanyak 5,9 juta ton yang bisa digarap Pertamina, yang kini baru menghasilkan 1,66 juta ton produk-produk tersebut.

Pertamina menargetkan proyek revamping TPPI kelar November 2022, lalu proyek olefin TPPI April 2025. Selanjutnya, proyek petroleum menjadi farmasi berjalan pada Oktober 2025. Adapun proyek Petrochemical Jabar akan digarap bersama mitra strategis.

Dengan proyeksi itu, Pertamina bukan tidak mungkin bakal menyalip Chandra Asri, yang kini di posisi terdepan di industri petrokimia nasional. Chandra Asri yang dikendalikan PT Barito Pacific Tbk (BRPT) merajai bisnis petrokimia nasional sejak zaman Presiden Soeharto.

Chandra Asri sendiri berniat menaikkan kapasitas produksi menjadi 8 juta ton per tahun, dari saat ini 4,2 juta ton, melalui proyek pembangunan kompleks petrokimia CAP2 di Cilegon, Banten. Nilai investasinya sekitar US$ 5 miliar.

Sedangkan LCI mulai membangun proyek LINE yang akan menghasilkan etilena sebanyak 1 juta ton per tahun, propilena 520 ribu ton, polipropilena 250 ribu ton, dan beberapa produk turunan lainnya. Investasi proyeknya sekitar US$ 4 miliar.

Dengan ekspansi tersebut, pada 2027, kapasitas produksi terpasang industri petrokimia nasional diproyeksikan menembus 12 juta ton, seiring tuntasnya proyek tiga pemain besar tersebut. Sementara itu, pasar produk petrokimia diprediksi menembus 11 juta ton lebih pada 2027, dengan asumsi pertumbuhan permintaan berkisar 4-5% atau bahkan bisa 7% per tahun.

Artinya, dengan adanya ekspansi Pertamina maupun swasta, bakal masih ada sisa untuk dipasok ke pasar ekspor, sekitar 600 ribu ton. Sebaliknya, tanpa ada ekspansi, defisit perdagangan petrokimia akan merongrong neraca perdagangan kita.

Dalam upaya mengikis ketergantungan pada petrokimia impor, Pertamina juga berencana memanfaatkan batu bara yang cadangannya masih banyak di Bumi Pertiwi. Batu bara ini bisa diolah menjadi bahan baku petrokimia yang bernilai tambah tinggi, tidak sekadar komoditas bahan bakar pembangkit listrik seperti sekarang. Bila harga batu bara yang sekitar US$ 140 per ton pun sudah dibilang tinggi, produk olahan petrokimia bisa 10 kali lipatnya.

Editor : Esther Nuky (esther@investor.co.id)

Sumber : Investor Daily
Thumbnail

Tinggalkan Balasan

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalan UU ITE

© 2021 Universitas Pertamina.
All rights reserved