Liputan6.com, Jakarta Transisi energi berarti peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan serta pengurangan emisi melalui pengalihan ke penggunaan sumber energi rendah emisi karbon, efisiensi energi dan penanganan emisi dengan memanfaatkan teknologi yang lebih baik dan efisien.
Salah satu usaha mendorong transisi energi adalah dengan pemberlakuan nilai ekonomi karbon (carbon pricing)yang sudah dimulai diberlakukan di lebih dari 40 wilayah di dunia. Tanpa adanya nilai ekonomi dalam emisi karbon, pelepasan emisi karbon tidak akan berdampak pada perilaku usaha.
Namun, dalam dalam beberapa hari terakhir, harga karbon dalam Sistem Pedagangan Emisi di Uni Eropa (Emissions Trading System, EU ETS) cukup mengejutkan banyak pihak.
Setelah belum lama ini harga emisi karbon terus mengalami peningkatan hingga diperdagangkan mendekati harga 100 Euro per ton CO2e, harga karbon mendadak anjlok hingga 35 persen sejak terjadinya konflik Russia dengan Ukraina. Ironisnya, hal itu terjadi saat harga bahan bakar fossil, baik batubara, minyak dan gas sedang melambung tinggi. Saat ini harga kembali stabil di sekitar 80 EUR per ton CO2e.
Anomali ini diperkirakan oleh berbagai analis setidaknya diakibatkan oleh tiga hal, yaitu kebutuhan akan dana segar yang cair dari para investor yang mengalami kerugian asset di jenis lain atau memperoleh likuiditas untuk menutup biaya gas dan listrik yang mahal.
Kemudina, antisipasi terjadinya penurunan permintaan akibat perang yang menyebabkan harga energi yang mahal sehingga industri mengurangi biaya operasionalnya serta teknikal pedagangan untuk mengurangi kerugian.
sumber berita: https://www.liputan6.com/bisnis/read/4935508/perang-dan-realitas-transisi-energi