JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR) yang tergabung dalam Engagement Group Civil Twenty (C20) mendorong Energy Transitions Working Group (ETWG) untuk mempertegas komitmen negara G20 terutama dalam mempensiunkan pembangkit energi fosil, dan memastikan keterbukaan proses transfer teknologi energi terbarukan.
Direktur Eksekutif IESR yang juga merupakan Co-chair C20, Fabby Tumiwa, berpendapat pemerintah Indonesia sebagai pemimpin G20 dapat lebih mendorong komitmen negara G20 untuk mengakselerasi transisi energi, menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, terutama PLTU batu bara daripada mengandalkan teknologi dekarbonisasi di PLTU seperti CCS/CCUS yang berbiaya mahal.
Fabby menilai, ancaman krisis iklim harus direspon dengan akselerasi transisi energi di seluruh negara G20. Menurutnya, untuk selaras dengan target 1,5C, IEA merekomendasikan PLTU yang tidak dilengkapi teknologi carbon capture harus diakhiri sebelum 2042.
“G20 seharusnya menunjukan kepemimpinannya melakukan pengakhiran PLTU dan akselerasi pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, pemanfaatan penyimpan energi dan kendaraan listrik, serta modernisasi infrastruktur energi. Kerja sama internasional dalam hal pendanaan konsesional, investasi, alih teknologi dan bantuan teknis perlu dipercepat dan ini yang perlu diusahakan dicapai oleh Presidensi G20 Indonesia,” kata Fabby, dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/3).
Selain itu, Fabby menyebut, IESR menilai perlu bagi ETWG untuk menggali komitmen dari negara anggota G2O dalam mendorong transfer teknologi energi terbarukan.
Hal itu sejalan dengan keputusan dari tiga pilar ETWG G20 di tahun kepemimpinan Indonesia pada sidang pertama (ETWG) yang telah digelar pada 24-25 Maret kemarin, yakni aksesibilitas energi, peningkatan teknologi energi bersih, dan peningkatan pembiayaan energi.
Di sisi lain, IESR mendorong ETWG untuk mendorong menegaskan komitmen negara-negara anggota G20 dalam bertransisi energi.
Proses yang Inklusif
Sementara itu, Manager Program Ekonomi Hijau IESR yang juga menjabat sebagai Koordinator Nasional Kelompok Kerja Lingkungan, Keadilan Iklim dan Transisi Energi (Environment, Climate Justice, and Energy Transition-ECE) C20, Lisa Wijayani, mengungkapkan melalui media rilis C20 bahwa selama ini distribusi teknologi yang tidak merata di berbagai negara telah mempersulit percepatan pertumbuhan teknologi hijau di seluruh dunia.
Lisa menjelaskan, aspek sentral dari pengembangan dan transfer teknologi adalah pembangunan kapasitas lokal. Bahkan, ketentuan UNFCCC dan Perjanjian Paris juga mendorong untuk transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang.
“Oleh karena itu, kami melihat perlu bagi negara-negara G20 memfasilitasi proses yang inklusif dalam pengadaan teknologi dan peningkatan kapasitas terhadap energi terbarukan, terutama melalui peningkatan fleksibilitas hak kekayaan intelektual bagi teknologi yang memberi dampak baik bagi lingkungan,” ujarnya.
Menyoal keterbatasan informasi yang diperoleh dari hasil sidang ETWG ini, Lisa mendesak agar proses yang inklusif dan demokratis di semua forum G20.
“Proses mestinya berlangsung transparan, dokumen hasil rapat harus diungkapkan, serta inklusif dengan mengundang kelompok lain,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Lisa mengatakan pihaknya yang tergabung dalam Kelompok Kerja Lingkungan, Keadilan Iklim dan Transisi Energi C20 bersedia untuk berdiskusi dengan ETWG untuk menyelaraskan isu-isu prioritas dan rekomendasi kelompoknya sehingga menjadi pertimbangan dalam pertemuan ETWG selanjutnya.