World Meteorological Organization (WMO) mengungkapkan peningkatan suhu global akan terus berlangsung hingga 2027 dengan peningkatan suhu 1,5 derajat. Wilayah Asia mengalami peningkatan sebesar 45 derajat, sedangkan di Indonesia sendiri penambahan suhu mencapai 33 derajat. Eskalasi suhu bumi yang kian memanas dapat meningkatkan 80 persen risiko bencana alam (NDC, 2016).
International Plant Protection Convention (IPPC) menawarkan sejumlah mitigasi terhadap peningkatan suhu bumi yang akan terus berlangsung. Penurunan produksi emisi karbon, penggunaan teknologi Carbon Capture Storage (CCS), hingga pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan (IPPC, 2022).
Ir. Yudo Dwinanda Priaadi. M.S., Staf Ahli Menteri Bidang Perencanaan Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, menjelaskan bahwa tingginya suhu bumi yang terus meningkat menjadi pekerjaan rumah bersama yang harus di benahi.
“Indonesia turut berkomitmen dalam upaya penurunan suhu bumi dengan upaya mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060. Hal ini didukung dengan pengembangan teknologi ramah lingkungan dan pemanfaatan EBT,” utur Yudo, dalam kegiatan kegiatan Indonesian Millennial in Sustainability 2023 (IMIS) 2023 di Universitas Pertamina
IMIS merupakan sebuah berkolaborasi proyek mata kuliah Proyek Multi Disiplin (PMD) di Fakultas Komunikasi dan Diplomasi UPER. Proyek tersebut membahas mengenai Sustainable Development Goals (SDGs) yang pada tahun ini bertemakan ‘The Creative Role and Digital Mindset of Generation Z for Indonesia's Sustainable Net Zero Carbon’ (8/7).
Dalam pemaparannya Yudo menekankan bahwa Indonesia harus lebih responsif terhadap potensi pemanfaatan EBT yang sangat berlimpah. Diketahui bahwa Indonesia memiliki potensi EBT sebesar yang cukup besar namun tidak sampai satu persen jumlah pemanfaatannya. “Indonesia memiliki total potensi 3.686 GW dan telah mengelola serta memanfaatkannya baru sebesar 0,3 persen dari total potensi. Ini menjadi sebuah harapan besar dalam upaya mencapai NZE,” tambah Yudo.
Namun, lambatnya proses pengembangan EBT tersebut disinyalir oleh upaya penemuan potensi EBT yang masih minim dibanding dengan sektor migas serta pengelolaan energi yang masih belum mumpuni. “Beberapa tantangan akan kita hadapi dalam pengembangan EBT. Pertama yaitu identifikasi dan discovery, yang kedua ekstraksi metal dan recovery dan tantangan ketiga yaitu alloying,” ujar Yudo.
Selain itu, Yudo memaparkan temuan Kementerian ESDM menyebutkan bahwa kebutuhan terhadap tenaga ahli turut menjadi tantangan dalam proses memaksimalkan potensi EBT. Dimana dalam setiap 1 MW pemanfaatan EBT dibutuhkan 30 orang tenaga ahli.
“Diharapkan peran generasi muda dimasa yang akan datang dapat membantu menciptakan inovasi dengan memanfaatkan teknologi sebagai aksi nyata dalam pendayagunaan EBT di Indonesia,” tutup Yudo.